Selasa, 19 Januari 2010

Cerpen : Dongeng sebelum bercinta (Komo dan Ayu, sekuel III)

Di suatu malam, di atas ranjang dalam sebuah kamar 24x24, aku dan Ayu sedang tidur-tiduran sambil menyaksikan televisi bersama-sama. Kami menyaksikan program berita di televisi yang sedang ribut tentang kasus Century.

“Komo!” Tiba-tiba Ayu mengalihkan pandanganku.

“Iya, ada apa sayang?” Ku sapa dia dengan senyum.

“Ah bosan nih!”

“Kenapa?”

“Bosan dengan orang-orang munafik di televisi ini! Maukah kau menceritakan seseorang yang sangat menarik untukku?”

“Siapa?”

“Siapa aja”

“Oke. Mau aku ceritakan tentang filsuf jagoan Plato dari yunani kuno, Karl Marx sang komunis radikal, atau tentang Ideologi Gramsci?”

“Ah, gak mau. Aku mau kamu ceritakan tokoh di Indonesia aja”

“Oww.. Siapa ya?” Aku pun terfikir sejenak, apakh ada orang atau tokoh yang ingin ku ceritkan pada Ayu, agar dia tidak bosan. Tiba-tiba aku terfikir seorang tokoh.

“Oya ada nih. Denger ya”

“Siapa?”

“Ada deh, coba tebak ya?”

“Iya” Ayu tersenyum sambil menyingkap tidurnya ke arah ku.

“Oke. ehem..”

Sosoknmya sangat wibawa, walau pun berkuasa, dia tidak memandang perbedaan sebagai hal yang harus di perdebatkan, dia menyatukan perbedaan itu menjadi sebuah keindahan. Penampilannya sangat nyentrik dan eksentrik. Dia pernah di bilang sesat dan menghina Islam oleh segelintir orang yang mengaku sangat beragama. Sosoknya sangat kontroversial, karena banyak pernyataanya yang di salah tafsirkan oleh banyak orang. Dia adalah seorang muslim yang taat.

“Hmm kayanya aku tau deh? Tapi siapa ya? Syekh Siti Jenar bukan”

“Hmm.. hampir tepat. Aku lanjutin ya!”

“Oke”

Dia bertubuh besar, gembul, dia merupakan seorang pemimpin besar, organisasinya merupakan yang terbesar di dunia.

“Oh aku tau! Semar bukan?” Potong Ayu di tengah ceritaku.

“Yap seperti tiu juga, tapi bukan”

“Yahh.. Siapa ya?”

Dia di gulingkan oleh pemerintahannya sendiri, dia tak di hargai oleh pemerintahannya sendiri, dia di khianati, padahal dia adalah seorang Presiden, namun dia di anggap menyimpang dan akhirnya harus di eksekusi. Secara fisik dia di anggap sebelah mata.

“Oh aku tau! Gusdur kan?”

“Yap betul”

Sosok Gusdur mengingatkanku pada sosok Semar, seorang tokoh perwayangan dari Jawa, dia memang tercipta dengan sosok yang tak sempurna, tapi dia mempunyai kekuasaan dan andil yang cukup luar biasa. Lihat Gus Dur, Dia mempunyai barisan NU yang merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, Dia juga mempunyai andil besar bagi Negara ini, dia menyatukan masyarakat Indonesia dari berbagai golongan, oleh karena itu, dia di juluki bapak pluralisme Indonesia. Dia pun terkenal tak pernah basa-basi dan tak suka korupsi. Saat dia melihat ada peluang korupsi cukup besar di Departemen Sosial, dia lantas langsung membubarkan Departemen tersebut. Selain itu, dia juga membubarkan Departemen Penerangan, dia beranggapan bahwa siaran dan informasi adalah milik masyarakat, bukan milik pemerintah, karena masyarakat berhak mendapatkan segala informasi. Sungguh pemimpin yang egaliter, sangat merakyat.

“Tapi kenapa dia bisa di singkirkan? Padahal dia adalah sosok yang baik?”

Itulah tadi, sama seperti Semar yang merupakan sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Jadi sosok Gus Dur yang sebanarnya tak akan terlihat oleh orang-orang seperti tadi, tapi sebaliknya, bagi orang-orang yang baik, sosok Gus Dur akan tampak. Oleh karena itu Gus Dur sering di pandang sebelah mata.

“Berarti kebanyakan orang Indonesia adalah orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati? Makanya dia tidak dapat melihat sosok Gus Dur?”

“Ya gitu deh!”

Selain itu Semar juga selalu hadir apabila Negeri ini sedang mengalami masalah, Gus Dur hadir pada saat yang tepat, pada saat Orba berkuasa, Dia muncul sebagai tokoh Reformasi, memberikan pencerahan pada semua orang, membebaskan dari belenggu Hegemoni penguasa Orba.

“Oww begitu ya?”

Iya, selain Semar, Gus Dur juga mengingatkan ku pada Syekh Siti Jenar, konon Syekh Siti Jenar juga merupakan titisan Semar, seperti yang telah aku ungkapkan sebelumnya, bahwa Semar memang selalu hadir apabila Negeri ini sedang ada masalah, lihat pada zaman itu, Penguasa Demak melaukan Hegemoni besar-besaran di Indonesia setelah mereka berhasil meruntuhkan Majapahit. Raden Fatah selaku Raja Demak saat itu mempunyai bawahan, yaitu para Wali, namun para Wali disini sebenarnya adalah para penguasa, bukanlah mubalig agama Islam sebagaimana yang kita pahami selama ini. Mereka adalah penguasa yang berpihak pada agama Islam dan aktif menyebarkan agama Islam di Jawa. Namun berbeda dengan Syekh Siti Jenar dan Syekh Bentong, mereka berdua bukanlah penguasa. Nah Syekh Siti Jenar ini sebanarnya termasuk dalam jajaran ke Walian, namun dia di anggap sesat karena salah tafsir oleh para Wali, dia di anggap keluar dari syareat Islam, namun sebenarnya Syekh Siti Jenar memang tidak hanya mengajarkan syareat yang sudah palsu karena campur tangan kekuasan Demak, oleh karena itu dia di anggap berbahaya oleh penguasa Demak, makanya dia di Bungkam! Namun Syekh Siti Jenar tidaklah mati saat di eksekusi, dia mukso atau pemisahan jiwa dan raga untuk menyatu denganNYA.

“Wah, terus hubungannya sama Gus Dur apa?”

Ya, Gus Dur, sama-sama di khianati oleh pemerintahannya sendiri, ia di anggap sesat, di anggap membahayakan bagi DPR, makanya ia pun di lengserkan dari jabatannya. Ia selalu di salah tafsirkan, penampilannya yang nyentrik sama dengan Syekh Siti Jenar, dia merupakan orang yang benar-benar beragama, tau bagaimana berhubungan dengan Tuhan dan menjalankan perintah Tuhan yang benar. Dan kematian Gus Dur yang secara tiba-tiba menurutku juga adalah sebuah mukso, walau jiwanya mati, tapi sebenarnya Dia tak akan pernah mati, Dia akan kembali hadir di Negeri ini, entah itu 500 tahun lagi atau entah sampai kapan, atau saat Negeri ini memang benar-benar lagi kacau. Intinya setelah kematian Jenar, Indonesia di Jajah monyet-monyet Belanda hingga berabad-abad.

“Dan, mungkinkah nanti sepeninggal Gus Dur, Negeri kita ini juga akan kacau balau?”

“Siapa tau?”

“Tapi, apakah mungkin Gus Dur merupakan titisan Semar dan Jenar?”

Ya, aku memang tak pernah tau akan itu, tapi coba kita liat 500 Tahun yang lalu atau sekitar abad ke 16, Syekh Siti Jenar (titisan semar) mukso karena berselisih pahan dengan para Wali yang lain, dan ia berjanji akan datang kembali ke dunia nyata ini 500 tahun mendatang. Dan kita tau sekarang adalah abad 21, dan sekarang inilah tepatnya 500 tahun itu. Ya, bila dugaanku benar, Gus Dur adalah titisan Semar dan juga Syekh Siti Jenar. Gus Dur = Semar dan Jenar versi modern abad ke 21. Tapi aku tak tau itu hanya dongeng atau kenyataan, seperti halnya Semar dan Syekh Siti Jenar, mereka hanyalah di anggap dongeng belaka oleh segelintir masyarakat. Tapi terkadang kita tak tau batasan antara kenyataan dan dongeng? Terkadang dongeng adalah sebuah keyataan ketika Ia hidup di dalam diri kita, tetapi kenyataan terkadang hanyalah sebuah dongeng buat kita, karena Ia hidup di luar diri kita. Seperti halnya Tuhan, Dia kita yakini, karena Dia berada di dalam diri kita.

Jadi ketika kenyataan tidak dapat mengungkapkan kebenaran, dongeng dengan kekuatan imajinasi dan pikiran dapat mengungkap kebenaran yang tersembunyi. Karena dongeng merupakan proses alami imajinasi pikiran kita, bersifat jujur apa adanya. Seperti halnya Gus Dur, dia selalu berbicara jujur apa adanya, karena kejujurannya tersebut, dia tidak mendapat tempat di dunia ini. Ketika orang jujur memang tak dapat tempat di dunia ini, dia akan hidup di dunia dongeng, seperti halnya Semar dan Jenar, dia akan selalu hidup di dalam pikiran kita, hidup dalam dunia dongeng. Tetapi sebaliknya, orang penjilat atau munafik, dia akan mendapat tempat di dunia ini, karena dunia ini penuh dengan kepalsuan.

“Berarti kenyataan itu sebenarnya adalah dongeng? Dan dongeng adalah kenyataan?

“Iya. Karena dongeng dapat mengungkap kebenaran”

“Bisa jadi kisah kita ini, Komo dan Ayu adalah sebuah kenyataan? Dan penulis kita ini adalah sebuah Ilusi bagi kita aja”

“Iya. Benar sekali. Bukan kita yang di bentuk oleh dia. Tetapi dialah yang kita bentuk. Kita hidup di dalam pikiran Dia, pemikiran-pemikiran kitalah yang mengendalikan Dia untuk menciptakan kita”

“Sungguh gila”

“Sudahlah. Semua itu adalah dongeng sebelum bercinta”

“Dasar Gay”

Akhirnya aku dan Ayu pun langsung bercumbu bersama di atas ranjang itu dengan cahaya redup dari bolham berdaya 5 watt.






Arip Pirosa
Jakarta, 19 Januari 2010

Minggu, 17 Januari 2010

CERPEN : Lelah menjadi Lelaki ( Ketika Pria menjadi Korban budaya Patriaki II)

"Pah, beliin aku motor baru donk!”

Dido merengek padaku di sela makan malam keluarga.

“Iya tuh pah beliin, itung-itung hadiah kenaikan kelas Dido” Sahut Istriku, Amel.

Makan malam yang kami laksanakan di sebuah restoran seafood di daerah Jakarta Selatan itu dilakukan memang dalam rangka kenaikan kelas Dido. Restoran ini memang tarafnya bintang 5, ku lihat daftar menu di restoran ini cukup menguras kantongku, paling murah mungkin hanya es teh manis yang harganya pun tak wajar yaitu mencapai 15ribu rupiah per gelas. Gila memang, sudah gitu Amel dan Dido memesan makanan yang paling special di restoran ini pula, tapi tak apalah, aku tak pernah mengeluh kepada keluargaku, karena aku harus bertanggung jawab memberikan kebahagiaan kepada keluargaku, dan kata semua orang pun seorang Bapak harus bahkan wajib hukumnya untuk memberi nafkah kepada keluarganya. Dalam lamunanku, aku di sadarkan oleh Dido yang kembali merengek.

“Gimana Pah?!”

“Hmm… Memang harus ya? Terus motor Satria F kamu mau di kemanakan? Kan masih bagus?”

“Yah Papah! Satria F udah ga jaman lagi Pah, temen-temen sekolah aku semuanya paa ganti motornya dengan motor CBR Pah!”

“Tapi gaji papah kan gak seberapa Do?”

“Yah, Papah! Masa Papah tega sih ngeliat Dido di ejek sama temen-temen Dido karena masih pake motor yang cemen itu?! ” Keluh Dido sambil manyun ke arah ku.

Aku hanya melempar senyum kecil ke arah Dido, agar dia tenang, seakan aku menyetujui permintaannya. Istriku pun hanya diam saja sambil dengan lahapnya menyantap gurame saus tiram dalam piring keduanya itu, Ia tak membelaku sama sekali, saat aku di serang dengan permintaan anakku yang sangat tak masuk akal itu. Aku sempat berfikir, enak sekali ya jadi wanita dan menjadi seorang istri, hanya diam dirumah saja, menunggu suaminya pulang, dan meminta uang untuk keperluan perawatan tubuhnya, padahal kan yang dia pakai adalah uang hasil keringat aku. Tapi mau apa lagi? Aku hanya bisa mengikuti aturan social bahwa seorang lelaki haruslah kuat dan mencari nafkah untuk keluarganya.

“Pelayan, Tolong minta bill donk!” Sahut Istriku sambil melambaikan tangannya ke arah pelayan lelaki yang berada di depan meja kasir.

“Pah, aku permisi sebentar ya, mau ke toilet sebentar”

“Oke sayang”

Aku pun menatap Istriku yang tampak gemuk yang sedang berjalan ke arah toilet, dan aku juga melihat seorang lelaki pelayan restoran ini, ku lihat dia bekerja dengan raut muka yang lelah sekali, dengan ikat kepala dan membawa nampan yang berisi makanan mahal itu, Ia bekerja cukup keras sekali, dan aku berfikir apakah anaknya dirumah minta di belikan motor CBR juga seperti Dido sehingga dia bekerja cukup keras sekali.

“Lihat pelayan itu Do, coba lihat kalau Papah bekerja seperti itu? Apakah mungkin kamu memnita motor CBR baru pada Papah?”

“ Ya tetap saja, kan dia juga seorang Bapak, ya dia harus menafkahi segala kebutuhan keluarganya?” Jawab Dido dengan yakin.

“Ternyata tak enak sekali ya menjadi seorang lelaki?”

“Iyalah Pah! Itu sudah menjadi kewajiban seorang laki-laki untuk menafkahi perempuan dan juga keluarga. Dido aja malu kalau sampai gak bayarin pacar Dido makan dan nonton kalau kita lagi pacaran”

“Memang malu sama siapa Do? Kok bisa gitu ya?”

“Ya dari sononya lah Pah! Karena kata Pak Guru, laki-laki itu harus kuat dan harus bisa melindungi wanita. Gimana sih Papah ini? Kok tiba-tiba bertanya seperti itu?”

“Gak kok, gak kenapa-kenapa. Papah cuma heran aja, kenapa beban ini gak di tanggung kepada perempuan saja?”

“Yaelah Pah! Kan udah Dido bilang, kalo perempuan itu lemah, mereka gak mungkin bisa di bebani hal-hal seperti laki-laki, dan kita bukan laki-laki sejati bila kita berprilaku seperti perempuan!”

“Oww gitu yah? Bukannya perempuan itu lebih kuat daripada laki-laki?”

“Loch?! Kuat darimananya?”

“IYa, melahirkan anak, itu buktinya. Seperti Ibu kamu ini, itu perjuangan menantang maut banget loch, tanpa ada latihannya, bukankah itu menandakkan bila perempuan itu kuat?”

“Kalo hal yang itu lain ceritanya Pah! Pokoknya perempuan itu lemah deh! Mereka suka banget nangis”

“Loch, Dido kan juga pernah nangis? Berarti Dido perempuan juga donk?”

“Enak aja…….”

“Maaf tuan, semuanya jadi 2 juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah” Sela sang pelayan pria di tengah-tengah obrolan aku dan Dido seraya menyerahkan bon ke arah ku.

Aku pun terkaget dengan jumlah harga makanan yang kami makan itu.

“Oh, oke. Ini saya bayar dengan kredit card aja ya”

“Baik pak, tunggu sebentar ya”

Sang pelayan berjalan membawa credit card ku ke arah kasir untuk menggeseknya.

“Oya Do. Papah bicara seperti itu tadi, agar kelak kamu siap dan mungkin bisa berfikir kenapa laki-laki harus wajib menafkahi keluarga, kenapa harus menjadi kepala keluarga? Memang gak bisa ya lelaki menjadi Bapak rumah tangga? Sebenarnya budaya Patriaki yang di banggakan oleh lelaki dapat merugikan lelaki itu sendiri! Makanya janganlah kita menghina dan mencap wanita itu lemah, karena sesungguhnya, lelaki pun juga lemah apabila budaya Patriaki masih bisa belum di hilangkan. Sebenarnya perempuan dan lelaki derajatnya sama, tidak ada bedanya, dan kita sama-sama menjadi korban Patriaki”

“Patriaki? Maksudnya?”

“Sudahlah! Nanti kamu juga mengerti”

Malam semakin larut, bunyi jangkrik pun menambah suasana sunyi malam itu, kecoa pun berterbangan kesana kemari, Ayu pun semakin lengket memelukku sambil tiduran di ranjang, Ia serius dan simpati mendengar ceritaku.

“Jadi seperti itulah kisahnya kenapa aku muak menjadi laki-laki maskulin! Bila kenyataanya menjadi maskulin harus seperti itu, lebih baik aku seperti sekarang, menjadi laki-laki feminist” Ceritaku pada Ayu di atas ranjang kamarnya.

“Iya, mengapa ya feminist selalu di anggap lemah, padahal maskulin lah yang lemah tak mau menerima bahwa feminist juga bisa melakukan apa yang maskulin bisa lakukan! Para pria maskulin merasa malu bila Ia di langkahi oleh kaum feminist yang berada di atasnya, dengan berbagai cara dia melakukan hal agar Ia mendapatkan semuanya dan dapat menundukkan kaum Feminst”

“Iya, seperti korupsi! Waktu itu aku juga sebenarnya punya kesempatan untuk itu, tapi disini aku tak mau memaksakan kehendakku untuk korupsi, aku tak merasa malu bila aku tak berhasil menafkahi keluargaku, walau akhirnya Istriku menceraikanku, dengan alasan aku berdosa atas nama Agama karena tak menafkahinya. Bila betul Agama seperti itu, maka tak adilah bagi perempuan yang berkarir dan berpendidikan? Mereka akan selalu di tempatkan di bawah, sebagai penerima nafkah dari suaminya yang mungkin hanya seorang pelayan restoran. Bila kejadiannya seperti itu, maka buat apa Tuhan menciptakan Hawa dan wanita lain di dunia ini bila hanya terus di perlaukan sebagai kasta terendah di bawah laki-laki? Sangat bodoh sekali Istriku kala itu, dia malah merendahkan derajatnya kaumnya sendiri, kasihan sekali dia”

“Ya, mungkin dengan mengatas namakan Agama, budaya Patriaki dapat tumbuh subur dan terus merajalela! Aturan Agama seperti itu Palsu! hanyalah konstruksi social yang di buat oleh manusia sendiri, dengan menafsirkan ayat-ayat Tuhan dengan maknanya sendiri, tapi mereka tak memikirkan keadlan buat orang lain! Bukankah Agama seharusnya menjadi pedoman manusia agar berbuat baik ke sasama makhluk ciptaaNYA, bukan untuk mengekang makhluk ciptaanNYA!”

“Sudahlah sayang, yang penting aku sekarang sudah bersama kamu. Aku cinta kamu Ayu” Rayuku sambil ke belai rambut Ayu.

“Aku cinta kamu juga komo”

Ku kecup kenig Ayu, dan kami pun kembali bercumbu bersama di atas ranjang di dalam kamar 24x24 ini di temani dengan bolham berdaya 5 watt.






Arip Pirosa
Jakarta, 17 Januari 2010

Sabtu, 16 Januari 2010

Cerpen : Ketika Pria menjadi korban Patriaki

Di sebuah kamar berukuran 24x24, seorang yang bernama Ayu sedang asik menghisap sebatang rokok sambil duduk di ranjang dan menonton televisi.

“Ya inilah dia kontestan Puteri Indonesia berikutnya, Lia dari Semarang, berikan tepuk tangan yang meriah untuknya” Terdengar suara pembawa acara di televisi.

Saat aku masuk ke kamarnya, Ayu mengepulkan asap rokok dari mulutnya ke udara, sehingga seisi ruangan terpenuhi asap rokok. Iya terlihat tampak sinis dan terus menghisap sebatang rokok yang di jepitnya di antara jari telunjuk dan tengah tangan kirinya.

“Sayang,” Sahut ku sambil menghampirinya dari belakang.

Ayu tidak menghiraukan kedatanganku, Ia terus menghisap rokoknya.

“Dan pemenang Puteri Indonesia tahun ini adalah Adelia dari Jakarta!” Teriak pembawa acara di televisi tersebut.

Ayu pun membuang puntung rokok di tangannya ke lantai, kemudian Ia berdiri dan menginjak puntung tersebut. Ayu pun berbalik badan dan memeluk ku dengan erat, dagunya menempel di pundakku.

“Kenapa Tuhan menciptakan makhluk seperti aku ini?” Keluh Ayu di pelukkanku dengan bau rokok masih terasa pekat dari mulutnya.

“Dan kenapa pula Tuhan menciptakan Adelia si Puteri Indonesia itu?” Jawabku dengan serius.

Ayu melepaskan pelukkannya padaku dan menegakkan kepalanya. Matanya menatap tajam ke mataku.

“Apa maksudmu?” Sahut Ayu menatapku tajam, dengan sisa air mata yang masih membasahi matanya.

“Iya. Adelia diciptakan sama seperti kamu. Kalian sama, tak ada bedanya, hanya beda dari segi fisik belaka. Jiwa kalian sama, Feminim” Jawabku untuk meyakinkannya.

“Tapi aku hanyalah seorang Waria. Kami berbeda! Kamu menghina aku Komo?” Sahut Ayu yang tampak kecewa padaku.

“Kamulah yang menghina diri mu sendiri Ayu, bahkan kamu telah menghina Tuhan! Walau bagaimana pun kamu tetaplah ciptaanNYA. Di dunia ini, kamulah yang tanggung jawab dengan kehidupanmu. Kamu menjadi seperti ini karena konstruksi kehidupanmu sendiri, bukan karena Tuhan! Kamu dengan Adelia sama, kalian sama-sama terkonstruksi menjadi seorang Feminim! Jadi sekali lagi janganlah kau menyesal dengan jalanmu Ayu!” Jawabku dengan semangat sambil menatap tajam ke matanya.

Ku lihat Ayu meneteskan air mata dan menundukkan kepalanya. Aku pun segera memeluknya kembali.

“Merekalah yang mengkonstruksi aku seperti ini, tapi mereka pulalah yang menyingkirkan aku dari kehidupan mereka, aku di anggap tabu oleh mereka, dianggap aib keluarga” Keluh Ayu sambil memelukku dengan erat dan menitikkan air mata di pundakku.

Tetesan air mata Ayu berasa membasahi kaos yang ku kenakan, tanganya erat mencengkram pundakku, begitu emosional jiwa Ayu yang ku rasakan.

“Sudahlah Ayu. Itu memang kenyataan di Indonesia ini. Bila budaya Patriaki tidak bisa dihilangkan, entah sampai kapan orang macam kita ini akan diterima masyarakat.” Jawabku di pelukkan Ayu.

“Patriaki? Bukankah patriaki hanya mengekang perempuan saja? Bukankah kita sama-sama lelaki, seharusnya mereka tak mengekang kita!” Sahut Ayu dengan emosional sambil melepaskan pelukkanya dariku.

Ayu serasa sinis dan tak terima dengan penjelasanku mengenai Patriaki. Dahinya mengkerut, matanya menatap ku tajam ke arah ku. Akupun mencoba menenangkan Ayu, ku pegang pundaknya dengan kedua tanganku, ku rebahkan badannya untuk duduk di ranjang.

“Budaya Patriaki tak hanya merugikan kaum perempuan saja, tetapi kaum lelaki pun juga ikut di rugikan, tepatnya merugikan sifat atau jiwa Feminim. Mungkin bisa di katakan siapa yang mempunyai jiwa seperti perempuan, dia tidak di anggap sebagai manusia. Contohnya adalah seperti kita ini. Kita menangis, berpelukkan, pasti di anggap tidak maskulin dan di cap negative oleh mereka” Jawabku dengan tenang sambil membelai rambutnya.

“Kenapa Feminim selalu berada di bawah Maskulin? Katanya Demokrasi? Mana? Semua hanya omong kosong! Mereka yang ngakunya beragama, seharusnya berprilaku baik pada semua orang tanpa kecuali. Tetapi kenyataanya malah berprilaku semena-mena padaku, serasa dirinya Tuhan, dengan memvonis aku berdosa!” Keluh Ayu dengan emosional kepadaku.

Ayu pun kembali menangis dan Ia memelukku kembali.

“Sudahlah sayang. Dunia belum berakhir buat kita. Walau kita di anggap sebelah mata oleh masyarakat. Tetapi setidaknya kita lebih baik daripada mereka. Kita tak berdosa dengan keadaan seperti ini, tapi merekalah yang berdosa dengan memperlakukan kita seperti ini.” Jawabku di pelukkan Ayu.

“Terima kasih sayang. Apa jadinya aku bila tanpa kamu. Jadi, kapan kita menikah sayang?” Bisik Ayu kepadaku dan mempererat pelukkanya.

“Tak perlulah kita menikah. Karena tak ada akte buat orang macam kita, Negara dan Agama mengekang kita, semuanya palsu! Menikah hanya menghalalkan hubungan seks dan menghadiahkan alat kelamin masing-masing saja, tapi tak menyatukan jiwa! Biarlah Tuhan yang langsung menjadi saksi kita, saksi dua orang pria Feminim!” Jawabku dengan yakin.

“Dasar Gay!” Bisik Ayu sambil tersenyum kepadaku.

“Dasar Waria!” Ku balas bisikan Ayu.

Cahaya yang di pancarkan bolham di ruangan ini semakin meredup, tegangannya mungkin hanya sekitar 5 watt saja, begitu pengap sekali ruangan ini. Tampak seekor kecoa terbang melintasi bolham itu. Bayangan kami berdua pun terlihat siluet di salah satu sudut dinding, tampak kami sedang melakukan hubungan seks di ranjang.





Arip Pirosa
Jakarta , 16 Januari 2010