"Pah, beliin aku motor baru donk!”
Dido merengek padaku di sela makan malam keluarga.
“Iya tuh pah beliin, itung-itung hadiah kenaikan kelas Dido” Sahut Istriku, Amel.
Makan malam yang kami laksanakan di sebuah restoran seafood di daerah Jakarta Selatan itu dilakukan memang dalam rangka kenaikan kelas Dido. Restoran ini memang tarafnya bintang 5, ku lihat daftar menu di restoran ini cukup menguras kantongku, paling murah mungkin hanya es teh manis yang harganya pun tak wajar yaitu mencapai 15ribu rupiah per gelas. Gila memang, sudah gitu Amel dan Dido memesan makanan yang paling special di restoran ini pula, tapi tak apalah, aku tak pernah mengeluh kepada keluargaku, karena aku harus bertanggung jawab memberikan kebahagiaan kepada keluargaku, dan kata semua orang pun seorang Bapak harus bahkan wajib hukumnya untuk memberi nafkah kepada keluarganya. Dalam lamunanku, aku di sadarkan oleh Dido yang kembali merengek.
“Gimana Pah?!”
“Hmm… Memang harus ya? Terus motor Satria F kamu mau di kemanakan? Kan masih bagus?”
“Yah Papah! Satria F udah ga jaman lagi Pah, temen-temen sekolah aku semuanya paa ganti motornya dengan motor CBR Pah!”
“Tapi gaji papah kan gak seberapa Do?”
“Yah, Papah! Masa Papah tega sih ngeliat Dido di ejek sama temen-temen Dido karena masih pake motor yang cemen itu?! ” Keluh Dido sambil manyun ke arah ku.
Aku hanya melempar senyum kecil ke arah Dido, agar dia tenang, seakan aku menyetujui permintaannya. Istriku pun hanya diam saja sambil dengan lahapnya menyantap gurame saus tiram dalam piring keduanya itu, Ia tak membelaku sama sekali, saat aku di serang dengan permintaan anakku yang sangat tak masuk akal itu. Aku sempat berfikir, enak sekali ya jadi wanita dan menjadi seorang istri, hanya diam dirumah saja, menunggu suaminya pulang, dan meminta uang untuk keperluan perawatan tubuhnya, padahal kan yang dia pakai adalah uang hasil keringat aku. Tapi mau apa lagi? Aku hanya bisa mengikuti aturan social bahwa seorang lelaki haruslah kuat dan mencari nafkah untuk keluarganya.
“Pelayan, Tolong minta bill donk!” Sahut Istriku sambil melambaikan tangannya ke arah pelayan lelaki yang berada di depan meja kasir.
“Pah, aku permisi sebentar ya, mau ke toilet sebentar”
“Oke sayang”
Aku pun menatap Istriku yang tampak gemuk yang sedang berjalan ke arah toilet, dan aku juga melihat seorang lelaki pelayan restoran ini, ku lihat dia bekerja dengan raut muka yang lelah sekali, dengan ikat kepala dan membawa nampan yang berisi makanan mahal itu, Ia bekerja cukup keras sekali, dan aku berfikir apakah anaknya dirumah minta di belikan motor CBR juga seperti Dido sehingga dia bekerja cukup keras sekali.
“Lihat pelayan itu Do, coba lihat kalau Papah bekerja seperti itu? Apakah mungkin kamu memnita motor CBR baru pada Papah?”
“ Ya tetap saja, kan dia juga seorang Bapak, ya dia harus menafkahi segala kebutuhan keluarganya?” Jawab Dido dengan yakin.
“Ternyata tak enak sekali ya menjadi seorang lelaki?”
“Iyalah Pah! Itu sudah menjadi kewajiban seorang laki-laki untuk menafkahi perempuan dan juga keluarga. Dido aja malu kalau sampai gak bayarin pacar Dido makan dan nonton kalau kita lagi pacaran”
“Memang malu sama siapa Do? Kok bisa gitu ya?”
“Ya dari sononya lah Pah! Karena kata Pak Guru, laki-laki itu harus kuat dan harus bisa melindungi wanita. Gimana sih Papah ini? Kok tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Gak kok, gak kenapa-kenapa. Papah cuma heran aja, kenapa beban ini gak di tanggung kepada perempuan saja?”
“Yaelah Pah! Kan udah Dido bilang, kalo perempuan itu lemah, mereka gak mungkin bisa di bebani hal-hal seperti laki-laki, dan kita bukan laki-laki sejati bila kita berprilaku seperti perempuan!”
“Oww gitu yah? Bukannya perempuan itu lebih kuat daripada laki-laki?”
“Loch?! Kuat darimananya?”
“IYa, melahirkan anak, itu buktinya. Seperti Ibu kamu ini, itu perjuangan menantang maut banget loch, tanpa ada latihannya, bukankah itu menandakkan bila perempuan itu kuat?”
“Kalo hal yang itu lain ceritanya Pah! Pokoknya perempuan itu lemah deh! Mereka suka banget nangis”
“Loch, Dido kan juga pernah nangis? Berarti Dido perempuan juga donk?”
“Enak aja…….”
“Maaf tuan, semuanya jadi 2 juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah” Sela sang pelayan pria di tengah-tengah obrolan aku dan Dido seraya menyerahkan bon ke arah ku.
Aku pun terkaget dengan jumlah harga makanan yang kami makan itu.
“Oh, oke. Ini saya bayar dengan kredit card aja ya”
“Baik pak, tunggu sebentar ya”
Sang pelayan berjalan membawa credit card ku ke arah kasir untuk menggeseknya.
“Oya Do. Papah bicara seperti itu tadi, agar kelak kamu siap dan mungkin bisa berfikir kenapa laki-laki harus wajib menafkahi keluarga, kenapa harus menjadi kepala keluarga? Memang gak bisa ya lelaki menjadi Bapak rumah tangga? Sebenarnya budaya Patriaki yang di banggakan oleh lelaki dapat merugikan lelaki itu sendiri! Makanya janganlah kita menghina dan mencap wanita itu lemah, karena sesungguhnya, lelaki pun juga lemah apabila budaya Patriaki masih bisa belum di hilangkan. Sebenarnya perempuan dan lelaki derajatnya sama, tidak ada bedanya, dan kita sama-sama menjadi korban Patriaki”
“Patriaki? Maksudnya?”
“Sudahlah! Nanti kamu juga mengerti”
Malam semakin larut, bunyi jangkrik pun menambah suasana sunyi malam itu, kecoa pun berterbangan kesana kemari, Ayu pun semakin lengket memelukku sambil tiduran di ranjang, Ia serius dan simpati mendengar ceritaku.
“Jadi seperti itulah kisahnya kenapa aku muak menjadi laki-laki maskulin! Bila kenyataanya menjadi maskulin harus seperti itu, lebih baik aku seperti sekarang, menjadi laki-laki feminist” Ceritaku pada Ayu di atas ranjang kamarnya.
“Iya, mengapa ya feminist selalu di anggap lemah, padahal maskulin lah yang lemah tak mau menerima bahwa feminist juga bisa melakukan apa yang maskulin bisa lakukan! Para pria maskulin merasa malu bila Ia di langkahi oleh kaum feminist yang berada di atasnya, dengan berbagai cara dia melakukan hal agar Ia mendapatkan semuanya dan dapat menundukkan kaum Feminst”
“Iya, seperti korupsi! Waktu itu aku juga sebenarnya punya kesempatan untuk itu, tapi disini aku tak mau memaksakan kehendakku untuk korupsi, aku tak merasa malu bila aku tak berhasil menafkahi keluargaku, walau akhirnya Istriku menceraikanku, dengan alasan aku berdosa atas nama Agama karena tak menafkahinya. Bila betul Agama seperti itu, maka tak adilah bagi perempuan yang berkarir dan berpendidikan? Mereka akan selalu di tempatkan di bawah, sebagai penerima nafkah dari suaminya yang mungkin hanya seorang pelayan restoran. Bila kejadiannya seperti itu, maka buat apa Tuhan menciptakan Hawa dan wanita lain di dunia ini bila hanya terus di perlaukan sebagai kasta terendah di bawah laki-laki? Sangat bodoh sekali Istriku kala itu, dia malah merendahkan derajatnya kaumnya sendiri, kasihan sekali dia”
“Ya, mungkin dengan mengatas namakan Agama, budaya Patriaki dapat tumbuh subur dan terus merajalela! Aturan Agama seperti itu Palsu! hanyalah konstruksi social yang di buat oleh manusia sendiri, dengan menafsirkan ayat-ayat Tuhan dengan maknanya sendiri, tapi mereka tak memikirkan keadlan buat orang lain! Bukankah Agama seharusnya menjadi pedoman manusia agar berbuat baik ke sasama makhluk ciptaaNYA, bukan untuk mengekang makhluk ciptaanNYA!”
“Sudahlah sayang, yang penting aku sekarang sudah bersama kamu. Aku cinta kamu Ayu” Rayuku sambil ke belai rambut Ayu.
“Aku cinta kamu juga komo”
Ku kecup kenig Ayu, dan kami pun kembali bercumbu bersama di atas ranjang di dalam kamar 24x24 ini di temani dengan bolham berdaya 5 watt.
Arip Pirosa
Jakarta, 17 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar