Selasa, 19 Januari 2010

Cerpen : Dongeng sebelum bercinta (Komo dan Ayu, sekuel III)

Di suatu malam, di atas ranjang dalam sebuah kamar 24x24, aku dan Ayu sedang tidur-tiduran sambil menyaksikan televisi bersama-sama. Kami menyaksikan program berita di televisi yang sedang ribut tentang kasus Century.

“Komo!” Tiba-tiba Ayu mengalihkan pandanganku.

“Iya, ada apa sayang?” Ku sapa dia dengan senyum.

“Ah bosan nih!”

“Kenapa?”

“Bosan dengan orang-orang munafik di televisi ini! Maukah kau menceritakan seseorang yang sangat menarik untukku?”

“Siapa?”

“Siapa aja”

“Oke. Mau aku ceritakan tentang filsuf jagoan Plato dari yunani kuno, Karl Marx sang komunis radikal, atau tentang Ideologi Gramsci?”

“Ah, gak mau. Aku mau kamu ceritakan tokoh di Indonesia aja”

“Oww.. Siapa ya?” Aku pun terfikir sejenak, apakh ada orang atau tokoh yang ingin ku ceritkan pada Ayu, agar dia tidak bosan. Tiba-tiba aku terfikir seorang tokoh.

“Oya ada nih. Denger ya”

“Siapa?”

“Ada deh, coba tebak ya?”

“Iya” Ayu tersenyum sambil menyingkap tidurnya ke arah ku.

“Oke. ehem..”

Sosoknmya sangat wibawa, walau pun berkuasa, dia tidak memandang perbedaan sebagai hal yang harus di perdebatkan, dia menyatukan perbedaan itu menjadi sebuah keindahan. Penampilannya sangat nyentrik dan eksentrik. Dia pernah di bilang sesat dan menghina Islam oleh segelintir orang yang mengaku sangat beragama. Sosoknya sangat kontroversial, karena banyak pernyataanya yang di salah tafsirkan oleh banyak orang. Dia adalah seorang muslim yang taat.

“Hmm kayanya aku tau deh? Tapi siapa ya? Syekh Siti Jenar bukan”

“Hmm.. hampir tepat. Aku lanjutin ya!”

“Oke”

Dia bertubuh besar, gembul, dia merupakan seorang pemimpin besar, organisasinya merupakan yang terbesar di dunia.

“Oh aku tau! Semar bukan?” Potong Ayu di tengah ceritaku.

“Yap seperti tiu juga, tapi bukan”

“Yahh.. Siapa ya?”

Dia di gulingkan oleh pemerintahannya sendiri, dia tak di hargai oleh pemerintahannya sendiri, dia di khianati, padahal dia adalah seorang Presiden, namun dia di anggap menyimpang dan akhirnya harus di eksekusi. Secara fisik dia di anggap sebelah mata.

“Oh aku tau! Gusdur kan?”

“Yap betul”

Sosok Gusdur mengingatkanku pada sosok Semar, seorang tokoh perwayangan dari Jawa, dia memang tercipta dengan sosok yang tak sempurna, tapi dia mempunyai kekuasaan dan andil yang cukup luar biasa. Lihat Gus Dur, Dia mempunyai barisan NU yang merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, Dia juga mempunyai andil besar bagi Negara ini, dia menyatukan masyarakat Indonesia dari berbagai golongan, oleh karena itu, dia di juluki bapak pluralisme Indonesia. Dia pun terkenal tak pernah basa-basi dan tak suka korupsi. Saat dia melihat ada peluang korupsi cukup besar di Departemen Sosial, dia lantas langsung membubarkan Departemen tersebut. Selain itu, dia juga membubarkan Departemen Penerangan, dia beranggapan bahwa siaran dan informasi adalah milik masyarakat, bukan milik pemerintah, karena masyarakat berhak mendapatkan segala informasi. Sungguh pemimpin yang egaliter, sangat merakyat.

“Tapi kenapa dia bisa di singkirkan? Padahal dia adalah sosok yang baik?”

Itulah tadi, sama seperti Semar yang merupakan sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Jadi sosok Gus Dur yang sebanarnya tak akan terlihat oleh orang-orang seperti tadi, tapi sebaliknya, bagi orang-orang yang baik, sosok Gus Dur akan tampak. Oleh karena itu Gus Dur sering di pandang sebelah mata.

“Berarti kebanyakan orang Indonesia adalah orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati? Makanya dia tidak dapat melihat sosok Gus Dur?”

“Ya gitu deh!”

Selain itu Semar juga selalu hadir apabila Negeri ini sedang mengalami masalah, Gus Dur hadir pada saat yang tepat, pada saat Orba berkuasa, Dia muncul sebagai tokoh Reformasi, memberikan pencerahan pada semua orang, membebaskan dari belenggu Hegemoni penguasa Orba.

“Oww begitu ya?”

Iya, selain Semar, Gus Dur juga mengingatkan ku pada Syekh Siti Jenar, konon Syekh Siti Jenar juga merupakan titisan Semar, seperti yang telah aku ungkapkan sebelumnya, bahwa Semar memang selalu hadir apabila Negeri ini sedang ada masalah, lihat pada zaman itu, Penguasa Demak melaukan Hegemoni besar-besaran di Indonesia setelah mereka berhasil meruntuhkan Majapahit. Raden Fatah selaku Raja Demak saat itu mempunyai bawahan, yaitu para Wali, namun para Wali disini sebenarnya adalah para penguasa, bukanlah mubalig agama Islam sebagaimana yang kita pahami selama ini. Mereka adalah penguasa yang berpihak pada agama Islam dan aktif menyebarkan agama Islam di Jawa. Namun berbeda dengan Syekh Siti Jenar dan Syekh Bentong, mereka berdua bukanlah penguasa. Nah Syekh Siti Jenar ini sebanarnya termasuk dalam jajaran ke Walian, namun dia di anggap sesat karena salah tafsir oleh para Wali, dia di anggap keluar dari syareat Islam, namun sebenarnya Syekh Siti Jenar memang tidak hanya mengajarkan syareat yang sudah palsu karena campur tangan kekuasan Demak, oleh karena itu dia di anggap berbahaya oleh penguasa Demak, makanya dia di Bungkam! Namun Syekh Siti Jenar tidaklah mati saat di eksekusi, dia mukso atau pemisahan jiwa dan raga untuk menyatu denganNYA.

“Wah, terus hubungannya sama Gus Dur apa?”

Ya, Gus Dur, sama-sama di khianati oleh pemerintahannya sendiri, ia di anggap sesat, di anggap membahayakan bagi DPR, makanya ia pun di lengserkan dari jabatannya. Ia selalu di salah tafsirkan, penampilannya yang nyentrik sama dengan Syekh Siti Jenar, dia merupakan orang yang benar-benar beragama, tau bagaimana berhubungan dengan Tuhan dan menjalankan perintah Tuhan yang benar. Dan kematian Gus Dur yang secara tiba-tiba menurutku juga adalah sebuah mukso, walau jiwanya mati, tapi sebenarnya Dia tak akan pernah mati, Dia akan kembali hadir di Negeri ini, entah itu 500 tahun lagi atau entah sampai kapan, atau saat Negeri ini memang benar-benar lagi kacau. Intinya setelah kematian Jenar, Indonesia di Jajah monyet-monyet Belanda hingga berabad-abad.

“Dan, mungkinkah nanti sepeninggal Gus Dur, Negeri kita ini juga akan kacau balau?”

“Siapa tau?”

“Tapi, apakah mungkin Gus Dur merupakan titisan Semar dan Jenar?”

Ya, aku memang tak pernah tau akan itu, tapi coba kita liat 500 Tahun yang lalu atau sekitar abad ke 16, Syekh Siti Jenar (titisan semar) mukso karena berselisih pahan dengan para Wali yang lain, dan ia berjanji akan datang kembali ke dunia nyata ini 500 tahun mendatang. Dan kita tau sekarang adalah abad 21, dan sekarang inilah tepatnya 500 tahun itu. Ya, bila dugaanku benar, Gus Dur adalah titisan Semar dan juga Syekh Siti Jenar. Gus Dur = Semar dan Jenar versi modern abad ke 21. Tapi aku tak tau itu hanya dongeng atau kenyataan, seperti halnya Semar dan Syekh Siti Jenar, mereka hanyalah di anggap dongeng belaka oleh segelintir masyarakat. Tapi terkadang kita tak tau batasan antara kenyataan dan dongeng? Terkadang dongeng adalah sebuah keyataan ketika Ia hidup di dalam diri kita, tetapi kenyataan terkadang hanyalah sebuah dongeng buat kita, karena Ia hidup di luar diri kita. Seperti halnya Tuhan, Dia kita yakini, karena Dia berada di dalam diri kita.

Jadi ketika kenyataan tidak dapat mengungkapkan kebenaran, dongeng dengan kekuatan imajinasi dan pikiran dapat mengungkap kebenaran yang tersembunyi. Karena dongeng merupakan proses alami imajinasi pikiran kita, bersifat jujur apa adanya. Seperti halnya Gus Dur, dia selalu berbicara jujur apa adanya, karena kejujurannya tersebut, dia tidak mendapat tempat di dunia ini. Ketika orang jujur memang tak dapat tempat di dunia ini, dia akan hidup di dunia dongeng, seperti halnya Semar dan Jenar, dia akan selalu hidup di dalam pikiran kita, hidup dalam dunia dongeng. Tetapi sebaliknya, orang penjilat atau munafik, dia akan mendapat tempat di dunia ini, karena dunia ini penuh dengan kepalsuan.

“Berarti kenyataan itu sebenarnya adalah dongeng? Dan dongeng adalah kenyataan?

“Iya. Karena dongeng dapat mengungkap kebenaran”

“Bisa jadi kisah kita ini, Komo dan Ayu adalah sebuah kenyataan? Dan penulis kita ini adalah sebuah Ilusi bagi kita aja”

“Iya. Benar sekali. Bukan kita yang di bentuk oleh dia. Tetapi dialah yang kita bentuk. Kita hidup di dalam pikiran Dia, pemikiran-pemikiran kitalah yang mengendalikan Dia untuk menciptakan kita”

“Sungguh gila”

“Sudahlah. Semua itu adalah dongeng sebelum bercinta”

“Dasar Gay”

Akhirnya aku dan Ayu pun langsung bercumbu bersama di atas ranjang itu dengan cahaya redup dari bolham berdaya 5 watt.






Arip Pirosa
Jakarta, 19 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar