Sabtu, 16 Januari 2010

Cerpen : Ketika Pria menjadi korban Patriaki

Di sebuah kamar berukuran 24x24, seorang yang bernama Ayu sedang asik menghisap sebatang rokok sambil duduk di ranjang dan menonton televisi.

“Ya inilah dia kontestan Puteri Indonesia berikutnya, Lia dari Semarang, berikan tepuk tangan yang meriah untuknya” Terdengar suara pembawa acara di televisi.

Saat aku masuk ke kamarnya, Ayu mengepulkan asap rokok dari mulutnya ke udara, sehingga seisi ruangan terpenuhi asap rokok. Iya terlihat tampak sinis dan terus menghisap sebatang rokok yang di jepitnya di antara jari telunjuk dan tengah tangan kirinya.

“Sayang,” Sahut ku sambil menghampirinya dari belakang.

Ayu tidak menghiraukan kedatanganku, Ia terus menghisap rokoknya.

“Dan pemenang Puteri Indonesia tahun ini adalah Adelia dari Jakarta!” Teriak pembawa acara di televisi tersebut.

Ayu pun membuang puntung rokok di tangannya ke lantai, kemudian Ia berdiri dan menginjak puntung tersebut. Ayu pun berbalik badan dan memeluk ku dengan erat, dagunya menempel di pundakku.

“Kenapa Tuhan menciptakan makhluk seperti aku ini?” Keluh Ayu di pelukkanku dengan bau rokok masih terasa pekat dari mulutnya.

“Dan kenapa pula Tuhan menciptakan Adelia si Puteri Indonesia itu?” Jawabku dengan serius.

Ayu melepaskan pelukkannya padaku dan menegakkan kepalanya. Matanya menatap tajam ke mataku.

“Apa maksudmu?” Sahut Ayu menatapku tajam, dengan sisa air mata yang masih membasahi matanya.

“Iya. Adelia diciptakan sama seperti kamu. Kalian sama, tak ada bedanya, hanya beda dari segi fisik belaka. Jiwa kalian sama, Feminim” Jawabku untuk meyakinkannya.

“Tapi aku hanyalah seorang Waria. Kami berbeda! Kamu menghina aku Komo?” Sahut Ayu yang tampak kecewa padaku.

“Kamulah yang menghina diri mu sendiri Ayu, bahkan kamu telah menghina Tuhan! Walau bagaimana pun kamu tetaplah ciptaanNYA. Di dunia ini, kamulah yang tanggung jawab dengan kehidupanmu. Kamu menjadi seperti ini karena konstruksi kehidupanmu sendiri, bukan karena Tuhan! Kamu dengan Adelia sama, kalian sama-sama terkonstruksi menjadi seorang Feminim! Jadi sekali lagi janganlah kau menyesal dengan jalanmu Ayu!” Jawabku dengan semangat sambil menatap tajam ke matanya.

Ku lihat Ayu meneteskan air mata dan menundukkan kepalanya. Aku pun segera memeluknya kembali.

“Merekalah yang mengkonstruksi aku seperti ini, tapi mereka pulalah yang menyingkirkan aku dari kehidupan mereka, aku di anggap tabu oleh mereka, dianggap aib keluarga” Keluh Ayu sambil memelukku dengan erat dan menitikkan air mata di pundakku.

Tetesan air mata Ayu berasa membasahi kaos yang ku kenakan, tanganya erat mencengkram pundakku, begitu emosional jiwa Ayu yang ku rasakan.

“Sudahlah Ayu. Itu memang kenyataan di Indonesia ini. Bila budaya Patriaki tidak bisa dihilangkan, entah sampai kapan orang macam kita ini akan diterima masyarakat.” Jawabku di pelukkan Ayu.

“Patriaki? Bukankah patriaki hanya mengekang perempuan saja? Bukankah kita sama-sama lelaki, seharusnya mereka tak mengekang kita!” Sahut Ayu dengan emosional sambil melepaskan pelukkanya dariku.

Ayu serasa sinis dan tak terima dengan penjelasanku mengenai Patriaki. Dahinya mengkerut, matanya menatap ku tajam ke arah ku. Akupun mencoba menenangkan Ayu, ku pegang pundaknya dengan kedua tanganku, ku rebahkan badannya untuk duduk di ranjang.

“Budaya Patriaki tak hanya merugikan kaum perempuan saja, tetapi kaum lelaki pun juga ikut di rugikan, tepatnya merugikan sifat atau jiwa Feminim. Mungkin bisa di katakan siapa yang mempunyai jiwa seperti perempuan, dia tidak di anggap sebagai manusia. Contohnya adalah seperti kita ini. Kita menangis, berpelukkan, pasti di anggap tidak maskulin dan di cap negative oleh mereka” Jawabku dengan tenang sambil membelai rambutnya.

“Kenapa Feminim selalu berada di bawah Maskulin? Katanya Demokrasi? Mana? Semua hanya omong kosong! Mereka yang ngakunya beragama, seharusnya berprilaku baik pada semua orang tanpa kecuali. Tetapi kenyataanya malah berprilaku semena-mena padaku, serasa dirinya Tuhan, dengan memvonis aku berdosa!” Keluh Ayu dengan emosional kepadaku.

Ayu pun kembali menangis dan Ia memelukku kembali.

“Sudahlah sayang. Dunia belum berakhir buat kita. Walau kita di anggap sebelah mata oleh masyarakat. Tetapi setidaknya kita lebih baik daripada mereka. Kita tak berdosa dengan keadaan seperti ini, tapi merekalah yang berdosa dengan memperlakukan kita seperti ini.” Jawabku di pelukkan Ayu.

“Terima kasih sayang. Apa jadinya aku bila tanpa kamu. Jadi, kapan kita menikah sayang?” Bisik Ayu kepadaku dan mempererat pelukkanya.

“Tak perlulah kita menikah. Karena tak ada akte buat orang macam kita, Negara dan Agama mengekang kita, semuanya palsu! Menikah hanya menghalalkan hubungan seks dan menghadiahkan alat kelamin masing-masing saja, tapi tak menyatukan jiwa! Biarlah Tuhan yang langsung menjadi saksi kita, saksi dua orang pria Feminim!” Jawabku dengan yakin.

“Dasar Gay!” Bisik Ayu sambil tersenyum kepadaku.

“Dasar Waria!” Ku balas bisikan Ayu.

Cahaya yang di pancarkan bolham di ruangan ini semakin meredup, tegangannya mungkin hanya sekitar 5 watt saja, begitu pengap sekali ruangan ini. Tampak seekor kecoa terbang melintasi bolham itu. Bayangan kami berdua pun terlihat siluet di salah satu sudut dinding, tampak kami sedang melakukan hubungan seks di ranjang.





Arip Pirosa
Jakarta , 16 Januari 2010

1 komentar:

  1. baguss... saia suka pemikirannya :)
    kapan ia saia bisa menuliskan pemikiran saia segamblang kamu?? hehehe

    BalasHapus