Jumat, 06 November 2009

(Lunturnya) Ideologi Bangsa..

Pada zaman sekarang ini, Partai Politik sudah tidak lagi "berjualan" Ideologi saat kampanye atau sebagai cita-cita mereka. Partai hanya berjualan tokoh, kesuksesan dan pengalaman masa lalu (Empirisme), dan asas menguntungkan (Pragmatisme). Tak ada lagi landasan ideologi pada saat kampanye era tahun 50an, dimana disana sangat jelas ideologi dari partai-partai yang bertarung dalam pemilu, seperti Parpol yang nasionalis, Islamis (Masyumi atau NU), atau komunis dapat dibedakan dengan jelas, ditinjau dari pemikiran politiknya, norma yang melingkupinya, bahasa dan simbol yang digunakan, maupun kecenderungan elite yang memerintah.

Namun saat era orde baru, semua ideologi di tunggalkan oleh rezom yang berkuasa saat itu. Disini Hegemony sudah mulai terlihat, kediktatoran orde baru mematikan kemajemukan ideologi, karena bagi yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila akan dihabisi, di anggap Komunis dan penghianat bangsa. Maka pada zaman ini tidak ada yang namanya Oposisi, dan kita bisa lihat, tanpa ada Oposisi, rezim yang berkuasa menjadi diktator, tanpa ada yang mengkontrol, KKN merajalela, dan puncaknya rakyat menggulingkan rezim ini, Itulah fakta terburuk menolak kehadiran oposisi dalam mempraktekkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pengantar pengertian Oposisi
Oposisi sendiri dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Oposisi diperlukan juga karena apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik yang terbuka dan publik. Adalah naif sekali sekarang ini untuk masih percaya bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasihatnya dapat merumuskan sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan pada saat ini.

Dari sudut pandang penting mekanisme check and balance, oposisi semestinya tidak perlu dicemaskan dan kemudian menjadi takut untuk menerima kehadirannya. Justru adanya kekuatan oposisi untuk menjaga pelaksanaan negara demokrasi berjalan dengan baik dan demokratis.

Di sanalah oposisi dibutuhkan sebagai semacam advocatus diaboli atau devil's advocate yang memainkan peranan setan yang menyelamatkan kita justru dengan mengganggu kita terus-menerus. Dalam peran tersebut oposisi berkewajiban mengemukakan titik-titik lemah dari suatu kebijaksanaan, sehingga apabila kebijaksanaan itu diterapkan, segala hal yang dapat merupakan efek sampingan yang merugikan sudah lebih dahulu ditekan sampai minimal.
(Disunting dari searching di oom google)


Pengantar pengertian Hegemony
Istilah hegemoni berasal dari istilah yunani, hegeisthai (“to lead”). Konsep hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa disini memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa negara (pemerintah).

Hegemoni bisa didefinisikan sebagai: dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense)

Hegemony is the dominance of one group over other groups, with or without the threat of force, to the extent that, for instance, the dominant party can dictate the terms of trade to its advantage; more broadly, cultural perspectives become skewed to favor the dominant group. Hegemony controls the ways that ideas become “naturalized” in a process that informs notions of common sense (http://en.wikipedia.org/wiki/Hegemony)
(Disunting dari hasil searching dari oom google)




Namun setelah reformasi kemajemukan ideologi lewat partai politik pun menemui titik terang kembali, namun lagi-lagi tidak menjalankan Ideologi dengan baik, sama halnya dengan orde baru, Parpol hanya sebagai kendaraan mencari kekuasaan bagi para kadernya. Selain krisis identitas, sebagian besar parpol di Indonesia tidak memiliki ideologi. Kalaupun ada, hanya dijadikan aksesoris partai semata, tidak menjadi acuan dalam tingkah laku para elite dan dalam perjuangan politik partai bersangkutan. Dengan demikian, keberadaan ideologi itu hanya simbolis, tidak di terapkan dan di jadikan dasar partai.

Pada zaman sekarang ini, Pemrintahan Indonesia diisi oleh orang-orang yang tak berideologi, Ideologi sudah tidak mendapatkan tempatnya di Senayan dan Pemerintahan. Coba kita lihat siapa pemenang pemilu tahun 2009 ini? partai yang hanya mengandalkan sosok tokoh, seperti halnya seorang penjual sapi glondongan, yang hanya menjual fisik luar sapi tersebut, namun sebenarnya isi daging sapi tersebut hanya sedikit, dan kebanyakan airnya saja, atau dengan kata lain, sapi tersebut kosong tanpa isi. Dan lebih parahnya lagi partai tersebut tidak memiliki "jualan" Ideologi yang jelas. Dan itu bisa terlihat jelas sekarang perjalanan bangsa ini tanpa ideologi..

Dan kita lihat yang tadinya teriak-teriak sebagai partai oposisi dan berideologikan nasionalis sebagai pembela wong cilik, namun apa daya, saat seorang tokoh partai ini "di imingi" kekuasaan sebgaia ketua MPR, semuanya semakin tidak jelas. Disini terlihat adanya "pemerataan atau penunggalan" Ideology Hegemony dari pemerintah yang berkuasa. Sama halnya dengan orde baru, semua yang bertentangan di habisi, namun sekarang caranya beda, yaitu dengan cara halus, yaitu dengan menyatukan paham dengan kekuasaan. Secara logis rasanya tidak mungkin dengan jumlah kursi yang kalah dari pemenang pemilu kemarin, seorang ketua MPR terpilih berasal dari partai yang jumlah kursinya minoritas di senayan. Ini salah satu pertanyaan yang tidak harus kita cari kebenarannya, namun kita simpan untuk sebuah revolusi kembali, bukannya sekarang kita takut dengan berdiam diri, namun kita ambil sebagai perenungan dan pemahaman politik kita agar jangan sampai kita kehilangan ideologi seperti mereka-mereka, biarkanlah kita sebagai kaum marjinal yang terhormat. Karena kebenaran yang di maksud kita tak akan sama dengan kebenaran orang-orang pragmatis tersebut, mereka dengan gagah dan teori-teori wacana mereka membela diri dan menganggap kita tak tahu apa-apa, nanti kita di cap sebagai pembangkang dan pemberontak. Itu semua terlihat dari mereka di kalangan elite yang tidak mau menerima perbedaan, terlihat dengan tak jelasnya oposisi di pemerintahan, mereka semua ingin semuanya satu (Hegemony) yaitu membantu pemerintahan, namun pemerintaha yang tak jelas arahnya. Mungkin contoh jelas lainnya sekarang adalah kasus KPK yang sebenarnya bisa jadi "Oposisi" di dalam pemerintahan, namun apa yang terjadi? Pemerintah yang sekarang berkuasa seakan akan "menghapus" oposisi terakhir ini. Mungkinkah kediktatoran akan kembali terjadi? Sekarang ini Parpol digunakan sebagai alat mencapai kekuasaan oleh para kadernya, Parpol sudah tidak mementingkan Ideologi dasar mereka sebagai penyambung ideologi rakyat ke pemerintahan, makanya sekarang ke banyakan janji-janji palsu dari Parpol kepada rakyatnya.

Memang orang-orang yang konservatif akan membiarkan hal ini terjadi begitu saja, tanpa mau memikirkan ideologi, dengan wacana mereka yang hanya sekadar ikut-ikutan atau mencari aman saja, mereka menganggap yang dominan atau Hegemony lah yang terbaik dan benar. Mereka mengesampingkan dan melupakan suatu hal yang mendasar, yaitu mau di bawa kemana bangsa kita bila tak memiliki identitas sebagai bangsa. Kita sering teriak-teriak dengan so sucinya bahwa kita adalah negara Islam, semua hal yang di anggap tak suci dan keluar dai norma di tentang habis-habisan. Lalu ada yang teriak kalo kita berideologikan Pancasila, semua harus mengacu pada Pancasila, bagi yang menentangnya akan di anggap pembangkang dan di cap komunis. Itulah mengapa sekarang partai-partai yang berideologi nasionalisme menjadi partai "pinggiran" yang sepi peminatnya, karena Partai ini minoritas dan di aggap ga sejalan dengan biorkrasi atau mendapat image sebagai pembangkang.

Apa kita hanya ikut"an wacana mana yang paling banyak di pakai, dan itu kita anggap benar, kemudian dengan begitu kita bisa hidup damai dan aman? secara fisik mungkin ia, tapi secara ideologi tidak sama sekali. Negara Kita sama halnya seperti perahu limbung tanpa peta tujuan yang tak punya arah, kita terombang-ambing di mainkan oleh ombak, kemana angin besar berhembus, kesana lah kita tertuju, walaupun tujuan itu menyesatkan sekalipun.

Identitas tak lagi di hiarukan, tetapi hanya jadi alat kekuasaan, yang mana yang pouler atau orang banyak suka, disitulah dirinya menjadi seorang yang disuka tersebut, layaknya seorang pahlawan kesiangan yang didandani agar tampil keren di depan publik. Dan dampaknya sudah sangat jelas sekarang buat bangsa kita ini. Kita sering tak dihargai oleh bangsa-bangsa lain, kita pun sekarang menjadi bangsa yang benalu, hanya mengikuti bangsa lain yang super power, kita tak lain sebagai bangsa yang pragmatisme, yang menguntungkan bagi kita, kita ikuti walau bertentangan dengan diri kita, kita seakan menjadi “pelacur” kapitalisme dan meninggalkan rakyat-rakyat kecil yang di anggap tak penting dan tak tahu apa-apa. Itu terlihat dari segi ekonomi, menurut para priayi yang di untungkan oleh menteri keuangan beranggapan bahwa perekonomian Indonesia mengalami perkembangan yang baik dengan jumlah inflasi yang meningkat. Namun apa kata rakyat kecil? Harga kok semakin naik? Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Mereka gak tahu tuh soal inflasi dan tetek bengek lainnya, yang rakyat tahu hanyalah bagaimana caranya harga sembako bisa turun dan mereka mendapat keadilan social sesuai dengan Hak mereka sebagai warga Negara yang dilindungi oleh UUD.

Itulah ciri bangsa kita yang telah kehilangan Ideologi, bila memang benar-benar mengacu pada Pancasila, apakah sudah mengamalkan sila ke-5, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. apakah sudah adil bagi seluruh rakyat Indonesia?? Apakah Ideologi hanya sebatas aksesoris dan simbol gaya-gayaan saja tanpa di perjuangkan oleh pemerintah yang berkuasa?? Inilah yang terjadi bila negeri yang kita cintai ini tidak mempunyai dasar atau landasan Ideologi dalam berbangsa dan bernegara. Hanya sekedar cari aman dengan "berlindung" dari negara adi kuasa yang menjadikan kita sebagai boneka dan “pelacur”. Rakyat pun juga menjadi “pelacur” di Negeri sendiri yang di bayar murah oleh bangsa asing yang berkedok sebgai pahlawan kesiangan (sama halnya masuknya Jepang sebagai penjajah yang berkedok sebagai pelindung Asia). Dan tanpa Ideologi, Bagsa kita tak akan benar-benar Merdeka, kita akan terus di jajah oleh Ideologi yang Kuat dari bangsa lain yang lebih Besar. Aku jadi teringat perkataan Bung Syahrir dan Bung Hatta : “Ada baiknya kita didik terlebih dahulu rakyat kita, barulah kita bisa merdeka” Dan mungkin kita harus merenung, apakah kemerdekaan ini hanyalah bersifat semu dan di dokumentasikan melalui teks proklamasi semata, tapi tidak di alami lahir dan batin.

Pengantar pengertian Ideologi itu sendiri..
Dalam ilmu sosial sendiri, ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekereja, dan menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Ideologi adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.
(Disunting dari searching di oom google)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar